Quick Response Code Indonesian Standard ( QRIS) sebagai sistem pembayaran digital nasional Indonesia memang memicu kekhawatiran dari pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan laporan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, AS menganggap QRIS dan kebijakan terkait seperti Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) menghambat kepentingan perusahaan pembayaran AS seperti Visa dan Mastercard.
QRIS: Simbol Kedaulatan Digital Indonesia
QRIS, diluncurkan oleh Bank Indonesia pada 2019, awalnya bertujuan menyatukan standar pembayaran QR code di dalam negeri.
Namun, inisiatif tersebut berkembang menjadi fondasi kedaulatan ekonomi digital Indonesia. Berikut faktanya:
- Pertumbuhan Eksponensial: Hingga Maret 2025, QRIS digunakan oleh 37,5 juta merchant dan 56,3 juta pengguna, dengan nilai transaksi QRIS mencapai Rp858,27 triliun per Februari 2025.
- Inklusi Keuangan: 74% merchant QRIS adalah UMKM dan sektor informal, yang sebelumnya kesulitan mengakses sistem pembayaran non-tunai.
- Biaya Rendah: Biaya transaksi QRIS hanya 0,3–0,7%, jauh lebih murah dibandingkan Visa/Mastercard (1,5–3,5%).
Kebijakan ini mengurangi ketergantungan pada infrastruktur asing, sekaligus memastikan data transaksi tetap dalam kendali domestik.
Mengapa QRIS Mengancam Hegemoni Dolar AS?
Dominasi dolar AS dalam transaksi global telah menjadi pilar kekuatan ekonomi Amerika selama puluhan tahun. Namun, QRIS dan inisiatif sejenis di Asia Tenggara mulai menggeser paradigma ini.
Reduksi Peran Dolar
Proyek Nexus dan Local Currency Transaction (LCT) ASEAN memungkinkan transaksi lintas batas menggunakan mata uang lokal, menghindari konversi ke dolar AS. Contohnya, pedagang di Yogyakarta bisa membayar supplier di Bangkok langsung dengan rupiah atau baht.
Erosi Pasar Visa/Mastercard
QRIS menggantikan peran kartu kredit/debit asing di transaksi domestik. Data Bank Indonesia menunjukkan penurunan 11,4% penggunaan kartu ATM/debit pada 2024, sementara transaksi QRIS melonjak 436%.
Kontrol Data Transaksi
Sebelum QRIS, 2–3% fee transaksi non-tunai mengalir ke Visa/Mastercard. Kini, 90% fee tersebut dipertahankan dalam ekosistem nasional.
Amerika Serikat kehilangan “hak istimewa” sebagai penjaga gerbang transaksi global, termasuk kemampuan memantau aliran uang dan menerapkan sanksi finansial.
Respons Amerika Serikat terhadap Kritik dan Tekanan Diplomatik
Pemerintah AS, melalui United States Trade Representative (USTR), mengkritik QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai hambatan perdagangan. Poin utamanya adalah:
- AS menuduh kebijakan QRIS membatasi akses perusahaan fintech AS seperti Visa/Mastercard ke pasar Indonesia.
- Aturan GPN membatasi kepemilikan asing di sektor pembayaran hingga 20%, dianggap menghambat investasi.
- AS mengklaim tidak dilibatkan dalam perumusan standar QRIS, sehingga sistem dianggap tidak kompatibel dengan infrastruktur global.
Kritik ini dinilai banyak ahli sebagai bentuk “pressure ekonomi” untuk melindungi kepentingan korporasi AS, bukan masalah teknis.